Kapan Perlu Berdiskusi tentang Advance Care Planning?

Kapan Perlu Berdiskusi tentang Advance Care Planning?

Share

Dalam dunia medis, seorang individu berusia dewasa yang telah mampu membuat keputusan sendiri memiliki hak untuk menyetujui atau menolak jenis perawatan dan tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Hak itu masih ada bahkan ketika pasien sudah tak bisa berkomunikasi secara langsung dengan dokter karena kondisinya yang tak memungkinkan.

Advance care planning menjadi salah satu cara untuk membantu orang lain misalnya tenaga medis dan keluarga untuk memahami nilai, harapan, dan keinginan seseorang dalam memilih jenis perawatan dan tindakan medis tertentu di akhir kehidupannya. Di Indonesia, atau negara Asia pada umumnya, bagi banyak orang masihlah tabu untuk membicarakan (apa yang diinginkan di) akhir kehidupan.

Apa Itu Advance Care Planning?

Advance care planning adalah proses untuk membantu seorang individu membuat keputusan mengenai penanganan masalah kesehatannya pada saat ini dan di masa depan andai individu tersebut tidak dapat berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan di kemudian hari. Proses ini juga biasa disebut diskusi rencana perawatan masa depan.

Penyusunan advance care planning terdiri atas empat langkah, yakni:

  • Mempertimbangkan nilai dan preferensi yang relevan dengan nilai, harapan, situasi, dan keinginan.
  • Membicarakan nilai dan preferensi itu dengan orang lain (keluarga atau kerabat dan /atau tenaga kesehatan).
  • Mendokumentasikan rencana dan keinginan, bila dianggap perlu.
  • Meninjau rencana secara berkala dan memperbaruinya sesuai dengan kebutuhan

ACP merupakan sarana yang memungkinkan seseorang merefleksikan nilai, harapan, dan keinginannya atas perawatan dan tata laksana medis yang dia inginkan di masa depan. Pada pasien yang telah memiliki penyakit kronis, maka nilai-nilai, preferensi, dan keinginan ini dapat berubah sesuai dengan kondisi sakit yang dimiliki saat itu. Proses merenungkan kembali harapan dan keinginan sesuai dengan kondisi yang dialami ini adalah yang disebut sebagai refleksi. Oleh karenanya, pemahaman yang cukup tentang kondisi kesehatan yang dimiliki merupakan hal yang penting untuk ACP.

 

Baca Juga: Depresi pada Lansia: Penyebabnya, Pencegahan, dan Terapinya    

 

Menentukan orang yang tepat untuk berdiskusi juga memerlukan proses dan refleksi. Siapakah orang yang tepat? Adakah orang yg tidak tepat? Menurut siapa? Setiap orang berhak menentukan dengan siapa dia mendiskusikan ACP. Biasanya orang ini adalah keluarga, significant others (kalau tidak memiliki keluarga) dan/atau tenaga kesehatan, misalnya dokter keluarga atau dokter penanggungjawab.

Rencana dan keinginan yang terdokumentasi ini berguna sebagai panduan bagi keluarga, rekan, dan tim medis ketika kelak seseorang tak mampu mengutarakan pendapatnya ihwal keputusan perawatan yang akan diambil. Misalnya, saat kelak menjalani perawatan end of life atau akhir kehidupan akibat penyakit terminal, misalnnya pasien itu bisa menentukan apakah ingin mendapat resusitasi atau tidak.

ACP juga merupakan diskusi mengenai apa yang penting menurut seorang individu baginya di akhir kehidupannya, contoh: bebas dari rasa sakit dan penderitaan, ingin berada dekat dengan keluarga selama masa sakit, hingga bagaimana dan di mana seseorang ingin menghabiskan masa akhir kehidupannya.

Dalam perencanaan perawatan masa depan, seorang individu mesti memahami kemungkinan pilihan jenis perawatan di masa depan, merenungkan pilihan ini, mendiskusikannya, dan membuat rencana berdasarkan serangkaian proses tersebut. Karena itu, individu tersebut umumnya membutuhkan saran dan masukan dari orang lain agar rencana yang disusun sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kesehatannya.

Apa Itu Do Not Resuscitate (Allow Natural Death)?

Advance care planning bisa mencakup perintah atau instruksi do not resuscitate atau ällow natural death, yakni instruksi untuk tidak melakukan resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri karena kegagalan sistem tubuh. Tujuan instruksi do not resuscitate adalah untuk memungkinkan terjadinya proses akhir kehidupan yang alami dan menghindari penderitaan yang berkepanjangan.

Instruksi do not resuscitate dapat dilakukan pada kondisi berikut:

  1. Atas permintaan pasien baik secara langsung (verbal) maupun tidak langsung (dokumen yang ditandatangani oleh pasien ketika pasien masih sadar);
  2. Keputusan tenaga medis apabila risiko menyakiti pasien akibat tindakan resusitasi dianggap lebih besar daripada manfaat resusitasi (sesuai dengan prinsip ‘do no harm’).

Apakah yang dimaksud dengan resusitasi? Tindakan resusitasi adalah tindakan yang biasanya dilakukan pada pasien yang memiliki masalah sirkulasi darah dan pernapasan, terutama penyakit jantung dan paru.

Resusitasi umumnya dilakukan saat pasien tersebut berhenti bernapas atau jantungnya berhenti berdetak. Meski tujuan resusitasi adalah memulihkan pasien, ada kemungkinan timbul efek samping yang bisa mempengaruhi kehidupan pasien selanjutnya.

Terdapat beberapa situasi yang mungkin mendorong seseorang untuk memasukkan instruksi do not resuscitate dalam advance care planning yang disusun, misalnya:

  • Sisa waktu hidup yang terbatas karena penyakit terminal
  • Mengalami penyakit kronis yang serius, seperti gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif kronis, sehingga resusitasi memiliki angka keberhasilan yang sangat rendah dan dapat memperpanjang penderitaan pasien
  • Penurunan kualitas hidup atau peningkatan ketergantungan pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari

Meski demikian, orang yang sehat sebaiknya juga bisa menentukan health care proxy atau wali yang dipercaya untuk memberikan keputusan terkait perawatannya saat dirinya tidak bisa menentukan (misalnya cedera karena kecelakaan atau stroke atau kehilangan kesadaran tiba-tiba), bisa juga meminta instruksi do not resuscitate dalam rencana perawatan masa depannya.

 

Baca Juga: Serba-serbi Stroke: Pencegahan dan Pertolongan Pertama    

 

Apa Bedanya Rencana Terapi Kuratif dan Rencana Terapi Simtomatis?

Dalam merawat pasien, tim medis bisa menyediakan layanan pengobatan kuratif ataupun simtomatis. Pengobatan simtomatis sering disebut juga sebagai perawatan paliatif. Keduanya memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal tujuan dan tindakan yang diberikan. Saat menyusun advance care planning, keputusan mengenai rencana terapi kuratif dan simtomatis bisa disertakan.

Rencana pengobatan kuratif bertujuan menyembuhkan penyakit atau mendorong pemulihan pasien dari penyakit, cedera, atau gangguan kesehatan. Terapi ini bisa diberikan di rumah sakit atau di rumah. Tindakan yang diberikan meliputi perawatan, pengobatan, dan pembedahan. Contoh rencana terapi kuratif adalah kemoterapi pada pasien kanker atau terapi fisik bagi pasien stroke.

Sedangkan rencana pengobatan simtomatis atau paliatif berfokus pada pengendalian atau upaya meredakan gejala sehingga pasien bisa merasa lebih nyaman dan tidak merasa menderita akibat penyakit yang dialami. Terapi simtomatis dapat diberikan di rumah, rumah sakit, ataupun fasilitas perawatan kesehatan jangka panjang.

Terapi ini juga bisa diberikan bersamaan dengan perawatan kuratif. Layanannya mencakup perawatan medis (dokter, perawat, obat-obatan) dan non-medis (spiritual, sosial). Terapi paliatif biasanya direncanakan bagi pasien yang memiliki penyakit terminal, tapi bukan berarti pasien yang menerima layanan ini memiliki waktu hidup yang pendek. Banyak pasien yang dapat hidup bertahun-tahun di bawah pengobatan simtomatis.

Kapan Kita Berdiskusi tentang Advance Care Planning dan dengan Siapa Bisa Berdiskusi?

Siapa pun bisa mempertimbangkan untuk memulai mendiskusikan mengenai advance care planning terlepas dari kondisi kesehatannya. Orang dewasa yang sehat walafiat pun bisa mendiskusikan rencana perawatan masa depan bagi dirinya, termasuk juga mempertimbangkan dan memilih siapa yang akan menjadi health care proxy nya. Meski demikian, ada beberapa kondisi yang umumnya mendorong orang untuk memikirkan rencana perawatan ini, seperti:

  • Menderita penyakit kronis tahap lanjut
  • Masa hidup terbatas akibat penyakit terminal menurut dokter
  • Memiliki risiko demensia atau penyakit terkait

Adapun diskusi umumnya dilakukan dengan anggota keluarga atau orang terdekat, dokter, dan fasilitas kesehatan yang memiliki layanan perawatan paliatif. Agar sah demi hukum, rencana itu juga dapat dibuat dan ditandatangani oleh notaris.

 

Baca Juga: Normalkah Demensia pada Lansia?

 

Siapa yang Terlibat dalam Penentuan Rencana Terapi?

Pasien adalah pihak yang paling menentukan dalam penyusunan rencana terapi pengobatan kuratif ataupun paliatif dalam ACP. Dalam kondisi akut pasien sangat membutuhkan keahlian dokter dan tim medis yang akan membantu memberikan pertimbangan mengenai berbagai terapi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien.

Selama proses ACP, pasien dapat memperoleh informasi dari dokter misalnya melalui konsultasi online dengan dokter mengenai berbagai skenario yang dapat terjadi di masa depan, berbagai pilihan terapi dan tindakan yang ada serta risiko dan manfaatnya. Pasien dapat menggunakan informasi tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan rencana. Selain itu, pasien dianjurkan untuk berdiskusi dengan anggota keluarga dan orang terdekat, sehingga mereka dapat memahami apa yang menjadi nilai, harapan dan keinginan pasien.

Kualitas Hidup VS Kuantitas Hidup

Kualitas hidup versus kuantitas hidup adalah salah satu masalah dasar etika keperawatan, terutama ketika menghadapi pasien penyakit terminal yang berada di ambang kematian. Kualitas hidup mengacu pada standar kualitas kehidupan yang bersifat subjektif pada masing-masing orang. Sedangkan kuantitas hidup bersifat pasti karena mengacu pada usia atau masa hidup seseorang.

Sebagai contoh, seorang kakek menderita kanker stadium lanjut yang usianya diperkirakan tak sampai tiga bulan lagi jika mendapat perawatan di rumah sakit. Sang kakek menolak dirawat di rumah sakit, tapi tidak ada anggota keluarganya yang sanggup merawatnya di rumah karena kesibukan masing-masing. Kakek itu kemudian meninggal satu bulan kemudian tanpa perawatan yang memadai.

Artinya, kuantitas hidup kakek tersebut buruk karena dia meninggal tak sampai tiga bulan sesuai dengan perkiraan dokter karena tidak dirawat di rumah sakit. Di sisi lain, kualitas hidupnya juga buruk lantaran tak ada perawatan di rumah yang memadai menjelang kematiannya.

Dengan advance care planning, seseorang bisa menentukan pilihan kualitas vs kuantitas hidup sebelumnya. Dalam kasus kakek tersebut, dia bisa memilih perawatan oleh tim medis yang profesional di rumah sehingga kualitas hidupnya terjaga dengan baik meski kuantitas hidupnya terbatas akibat penyakit yang diderita. Kavacare menyediakan layanan homecare yang berkualitas termasuk di dalamanya pembuatan care plan untuk anggota keluarga. Hubungi Kavacare Support di nomor 0811 1446 777.

 

Direview oleh:

dr Diah Martina, SpPD (Kandidat Doktor Erasmus Medical Center)

 

Sumber:

  1. Advance Care Planning: Health Care Directives. https://www.nia.nih.gov/health/advance-care-planning-health-care-directives. Diakses 9 Mei 2022
  2. Advance care planning. https://www.health.gov.au/health-topics/palliative-care/planning-your-palliative-care/advance-care-planning. Diakses 9 Mei 2022
  3. A quick guide for registered managers of care homes and home care services. https://www.nice.org.uk/about/nice-communities/social-care/quick-guides/advance-care-planning. Diakses 9 Mei 2022
  4. Advance care planning and advance directives. https://www.uptodate.com/contents/advance-care-planning-and-advance-directives. Diakses 9 Mei 2022
  5. Advanced Care Planning: An Educational Intervention for the Elderly in Indonesia. https://www.scitepress.org/Papers/2018/83206/83206.pdf. Diakses 9 Mei 2022
Avatar
Reviewed by:
Ditinjau oleh:

Dr. Eddy Wiria, PhD

Co-Founder & CEO Kavacare